Minggu, 12 Juli 2009

Sisi Marketing dari Kasus Prita Mulyasari

Dukacarita yang menimpa Prita Mulyasari baru-baru ini, sangat mengusik rasa keadilan sebagian besar masarakat kita. Sulit untuk dimengerti bagaimana kasus ini bisa terjadi? Baik dari segi hukum maupun segi etika medis, kasus ini benar-benar tidak lazim. Syukur, Prita kini telah bebas dari penjara dan sudah berkumpul lagi dengan suami dan anak-anak tercinta. Sementara itu, biarlah proses hukum berlanjut demi keadilan yang sejati.

Selaku praktisi bisnis dan pengamat pemasaran, saya tergelitik untuk membuat ulasan tentang kasus Prita Mulyasari ini dari sudut pandang marketing. Pengalaman buruk yang menimpa Prita terdiri dari dua hal. Yang pertama adalah layanan medis yang dianggap mengecewakan dan yang ke dua adalah tindakan reaktif terhadap keluhan Prita yang disampaikan melalui e-mail. Tidak tanggung-tanggung, Prita dilaporkan ke Polisi sehingga harus di ‘rawat-inap’ paksa selama tiga minggu di penjara Lapas Wanita Tangerang.

Pelayanan terhadap pasien yang diberikan oleh sebuah rumah-sakit adalah manifestasi dari jati-diri rumah-sakit itu sebagai sebuah lembaga. Jati-diri tidak sama dengan pencitraan-diri. Pencitraan diri adalah das sollen atau harapan, sementara jati-diri adalah das sein atau kenyataan. Usaha sebuah rumah sakit untuk menarik perhatian pelanggan, memilih lokasi yang strategis, membangun gedung yang mewah, mencari nama yang bagus dan kalau perlu yang bernuansa internasional, adalah bagian dari usaha pencitraan diri. Sedangkan pelayanan yang dialami sendiri oleh pasien adalah moment of truth yang akan melekat pada citra rumah-sakit itu sebagai jati-dirinya yang asli. Citra dan jati-diri ini tidak bisa dibangun dengan cara memenangkan perkara di pengadilan.

Pada umumnya, rumah-sakit mempunyai dua misi utama, yaitu menolong orang yang menderita sakit dan menjalankan bisnis. Dalam kondisi apapun, ke dua misi ini tidak membenarkan sebuah rumah-sakit untuk memberikan pelayanan buruk dan bersikap reaktif atas keluhan seorang pasien. Seperti halnya bisnis hotel, airlines, restoran dan lain-lain, bisnis rumah-sakit termasuk dalam kategori industri jasa yang menjual jasa layanan medis. Menurut teori klasik tentang marketing mix atau 4P’s, product adalah P yang pertama, disamping price, promotion dan place. Menjual layanan buruk di dalam industri jasa sama halnya dengan menjual produk cacat di dalam industri manufaktur. Faktor pelayanan di dalam industri jasa rumah-sakit sangat bergantung pada kompetensi sumber daya manusia (SDM). Disamping tenaga dokter-dokter yang pandai, perawat yang terampil, rumah-sakit juga memerlukan suasana keramah-tamahan dan persahabatan yang hangat. Harap diingat bahwa pelanggannya adalah manusia yang sedang menderita sakit. Rumah-sakit memerlukan SDM, baik tenaga medis maupun non medis, yang sadar bahwa kelangsungan hidup usaha mereka bergantung kepada keberadaan dan kepuasan pelanggan. Setiap karyawan harus sadar bahwa gaji mereka dibayar oleh pelanggan. Bukankah, customer is king!customer can do no wrong! Oleh karenanya Kejadian yang menimpa Prita Mulyasari mengindikasikan bahwa sebagai pasien ia tidak diperlakukan oleh rumah sakit tersebut sebagai pelanggan, konon lagi sebagai valued customer.

Keluhan pelanggan di dalam dunia usaha adalah sebuah keniscayaan, apapun jenis usahanya. Pelaku bisnis tidak mungkin menghindar dari kemungkinan menerima komplin, kecuali kalau ia berhenti berbisnis. Tapi dalam prakteknya kita sering melihat pelaku usaha yang justru memusuhi pelanggan yang mengajukan komplin. Disamping menguasai seni memasarkan dan berjualan, seorang pelaku bisnis juga harus menguasai seni melayani keluhan pelanggan dengan baik. Di dalam dunia bisnis modern ada faham yang mengatakan bahwa pelangan yang menyampaikan keluhannya adalah pelanggan yang potensial untuk loyal. Pelanggan yang tidak puas namun tidak mengeluh, dapat dipastikan akan pergi meninggalkan produsennya tanpa repot-repot bilang good-bye. Sedangkan pelanggan yang komplin, ia menunggu penjelasan yang masuk akal atas keluhan yang disampaikan. Kekecewaannya akan hilang bila jawaban atau tanggapan yang diterimanya cukup memuaskan. Sayangnya faham ini lebih banyak dibaca atau didengar daripada dihayati dan dipraktekkan. Jarang sekali pelaku usaha yang secara sadar dan sistemik menerapkan seni merubah ‘komplin menjadi komplimen’. Banyak pengusaha yang justru sengaja melewatkan momentum untuk merubah the angry customer ini menjadi the happy and loyal customer, karena kesadaran berbisnisnya ‘kalah’ oleh ego pribadinya.

Janelle Barlow dan Claus Moller di dalam buku mereka yang berjudul A Complaint is A Gift, mengatakan bahwa sebuah perusahaan bisa mendapatkan keunggulan kompetitf dengan cara menjadi perusahaan yang complaint friendly. Caranya adalah dengan mengapresiasi keluhan. Pada umumnya keluhan atau komplin disampaikan secara spontan, dan mungkin bagi produsen tidak terlalu nyaman. Tapi isi keluhan itu adalah pesan yang jujur. Lebih jujur dari masukan atau rekomendasi yang dibuat oleh konsultan, dan kita menerimanya secara gratis, tanpa fee. Benar kata Barlow dan Moller, komplin adalah pemberian yang harus dan patut diapresiasi. Dengan komplin kita bisa mengetahui kekurangan dan kelemahan perusahaan. Disamping itu penanganan komplin yang baik bisa menjadi barrier to exit bagi pelanggan, sekaligus menjadikannya loyal customer.

Dengan demikian, menurut buku itu lagi, produsen harus menjaga agar pengguna jasanya tetap ‘betah’ menyampaikan keluhan. Banyaknya jumlah keluhan tidak perlu dirisaukan, yang justru harus dibidik adalah mutu keluhan. Quality complaint adalah tolok-ukur dari mutu produk kita. Sebagai contoh, seorang pemilik hotel berbintang lima pasti akan berbunga-bunga bila mendapat keluhan kenapa di Executive Lounge tidak tersedia champagne, misalnya? Sebaliknya, ia akan tersenyum kecut bila menerima komplin pelanggan yang mengeluhkan adanya kecoa di restoran Jepangnya. Sebagai perusahaan yang complaint friendly semua usaha untuk meningkatkan pelayanan, mengawasi kinerja front-liners atau petugas garis depan, serta pengembangan program-program loyalitas pelanggan menjadi lebih mudah. Maka merugilah pebisnis yang tidak tahu menghargai nilai sebuah keluhan, dan beruntunglah mereka yang bisa memanfaatkan komplin pelanggan demi kemajuan bisnisnya. Businessmen do things the business way, sedangkan proses hukum adalah pilihan terakhir yang bisa ditempuh.


Bachrul Hakim