Minggu, 31 Mei 2009

Pardo's Push--- Tailhook Ingenuity !!

COURAGEOUS INGENUITY....BRAVO....LEARN FLYING FROM THAT.

Captain Bob Pardo is famous for what's become known as "Pardo's Push." I've included a write up from the AF Magazine in 1996 about the incredible bravery and ingenuity of Captain Pardo during a mission over North Vietnam in 1967. Reading the account of that day illustrates how fighter pilots faced with adversity adapt to the situation and improvise to find a solution. Pardo did just that. It's why you want fighter pilots flying your pink body around on A-words. Sully Sullenburger being a prime example.

Pardo was lead of two ship on a strike mission near Hanoi. His wingman and he both took on battle damage during the attack, and his wingman had a massive fuel leak as a result of the AAA they absorbed. Bob Pardo realized that his wingman would be a resident of the Hanoi Hilton if he did not come up with a plan and fast. He did just that by having his wingman lower his hook while flamed out so that Pardo could push him to safety with the windscreen of his Phantom. Only a fighter pilot would come up with a solution as radical as this, but it worked.

The leadership and heroism of Captain Pardo will go down in history as an example of the "can do" attitude of fighter pilots. The faculty at FU is proud to name Bob Pardo as our latest FU Hero.
Pardo's Push
Story by John L. Frisbee

Uncommon courage, Ingenuity, and skill were combined in a unique experience of the Vietnam War.

There are pilots who fly fighters, and there are fighter pilots. Retired Lt. Col.Bob Pardo is one of the latter. When he's not flying corporate jets inColorado, he's doing aerobatics in single-engine planes with fighter pilot friends.

Of the 132 missions he flew in Vietnam with the 8th Tactical Fighter Wing, the most memorable is that of March 10, 1967, when he and his weapon system officer, Lt. Steve Wayne, went against steel mills near Hanoi. In their flight was Capt. Earl Aman and his "Guy in Back," Lt. Bob Houghton. The Hanoi area was the most heavily defended in the history of air warfare, and on that day enemy ground fire was the heaviest Captain Pardo had seen in his many trips downtown.

Before they reached the target, Captain Aman's F-4 was hit, but he was able to stay with the formation. As they were rolling in on the target, antiaircraft gunners found Aman again. His aircraft began to leak fuel rapidly. Pardo also was hit but was able to continue with the strike, though his F-4, too, was leaking fuel. By the time they were above 20,000 feet on their way out, it was obvious that Aman did not have enough fuel to reachLaos, where he and Houghton could bail out with a reasonable chance of being rescued. If they punched out over North Vietnam, they were almost certain to be captured and either killed or sent to reserved accommodations at the Hanoi Hilton .

Bob Pardo, on the other hand, probably had enough fuel, with careful management, to reach a tanker, leaving Aman and Houghton to an uncertain fate. That was not Pardo's way. "How can you fly off and leave someone you just fought a battle with?" asks Pardo. "The thought never occurred to me." He would stay as long as Aman's fuel lasted, then think of some way to get the two men to safety. Pardo didn't have long to think about it. While they were still over North Vietnam, Aman flamed out. What to do now? Desperate situations demand desperate measures. Pardo decided to do something that, to his knowledge, had not been done before. He would push Aman's F-4 to Laos. (In 1952, during the Korean War while Pardo was still in high school, fighter ace Robbie Risner had pushed his wingman out of North Korea in an F-86. Pilots then were ordered to refrain from attempting the hazardous act again, and the event, which Risner hardly ever mentioned, faded from memory.) With delicate touch, Pardo brought the nose of his damaged aircraft into contact with Aman's F-4, now plunging toward the Laotian jungle at 250 knots. He soon found that the pointed nose of an F-4 was not designed for pushing anything more solid than air. After several failed attempts, Bob Pardo came up with a brilliant idea. He told Aman to drop his tailhook. He then maneuvered his windscreen against the tailhook. It worked, but about every thirty seconds Pardo would lose contact because of turbulence, then back off and come in again. It was an extraordinary job of flying. Aman's rate of descent was reduced to 1,500 feet per minute. Their problems were not over. Pardo's left engine caught fire. He shut it down, then restarted it, and again it caught fire. Never mind that. He would be at zero fuel in ten minutes anyway. It was time for everyone to hit the silk. Aman and Houghton bailed out at 6,000 feet, followed shortly by Wayne and Pardo. Once on the ground, Aman and Houghton were pursued by the enemy but managed to elude them. All four men were picked up by rescue helicopters, Pardo, who bailed out last, was rescued forty-five minutes after the others, and returned to their base at Ubon RTAB, Thailand. Bob Pardo was an instant hero to the other pilots but not to some higher echelon accountants, who threatened to bring charges against him for losing an expensive airplane. Good judgment prevailed, and the charges were dropped. Two decades later, he and Steve Wayne each were awarded the Silver Star for what came to be known as Pardo's Push, immortalized in a striking painting by aviation artist Steve Ferguson.

Senin, 11 Mei 2009

■ Pariwisata Indonesia, Sektor Strategis Tanpa Peran Strategis

Bachrul Hakim
Pengamat Transportasi dan Pariwisata

Mulai tahun 2011 nanti, warga negara Indonesia yang akan bepergian ke luar negeri tidak perlu lagi bayar fiskal. Sebelumnya, sejak awal 2009 Pemerintah sudah membebaskan warganya dari kewajiban membayar fiskal, asalkan ia sudah memiliki NPWP paling tidak selama sebulan sebelum tanggal keberangkatan ke luar negeri.

Kita masih ingat sejarah pemberlakuan fiskal ini pada jaman Pemerintahan Orde Baru dulu. Waktu itu, sektor pariwisata Indonesia mempunyai peran dominan. Demi kepentingan pariwisata, Pemerintah RI mengamini hampir semua kemauan sektor pariwisata yang diotaki oleh Menparpostel pada masa itu, Joop Ave. Dengan pengaruhnya yang kuat, tokoh flamboyan ini mampu “mengobrak-abrik” kepentingan dan kebijakan sektor lain. Semua dengan dalih untuk meningkatkan pemasukan devisa melalui sektor pariwisata. Sektor Politik, Pertahanan, Keamanan, serta dua Badan Intelejen yang sangat berpengaruh pada waktu itu, yaitu Bais dan Bakin terpaksa mengalah dan harus menyetujui kebijakan Bebas Visa bagi warga negara asing yang berasal dari negara-negara tertentu. Sebaliknya, warga negara Indonesia yang akan mengadakan perjalanan ke luar negeri diharuskan membayar fiskal, tanpa pandang bulu. Bagaikan pisau bermata ganda, kebijakan ini diarahkan untuk menggenjot pemasukan devisa ke dalam negeri dan mencegah kebocoran devisa dari dalam negeri. Kebijakan sub-sektor Perhubungan Udara yang pada masa itu cenderung melindungi kepentingan maskapai penerbangan nasional dirubah. Maskapai asing diijinkan masuk ke 23 kota-kota di Indonesia. Wisatawan asing diharapkan bisa berkunjung ke seluruh penjuru tanah air secara langsung, tidak terpusat ke Bali saja, dan tidak harus melalui Jakarta.

Setelah Joop Ave turun panggung, sektor pariwisata Indonesia kehilangan arah, bagaikan bahtera yang melaju tanpa nakhoda. Bukan itu saja, kini giliran sektor pariwisata yang “diobrak-abrik” oleh sektor lain. Kebijakan Bebas Visa dicabut, tanpa kompromi. Dengan “belas-kasihan” Depkumham, kebijakan ini dilonggarkan menjadi Visa On Arrival. Kebijakan pemberian visa, yang seyogyanya merupakan kemudahan bagi wisatawan asing yang ingin berkunjung ke Indonesia, justru menjadi lahan empuk untuk mengutip pungli, seperti yang terjadi di KBRI Beijing, dan di loket-loket pelayanan imigrasi di berbagai Bandara domestik. Memang keadaan sudah berubah. Sejalan dengan adanya krisis keuangan global, dimana para pelaku bisnis pariwisata di dalam negeri menguatirkan turunnya jumlah kedatangan wisatawan mancanegara, harapan digantungkan sepenuhnya kepada wisatawan domestik. Apa daya, “keran” berlibur ke luar negeri justru dibuka lebar-lebar dengan penghapusan fiskal ini. Sektor Keuangan kini lebih berperan. Pemasukan kas negara dari wajib pajak yang terdaftar melalui NPWP lebih diperhitungkan daripada pemasukan melalui fiskal. Bukan hanya masarakat yang menyambut hangat penghapusan fiskal ini, negara-negara tetangga di kawasan Aseanpun sudah lama menunggu-nunggu kebijakan ini. Siapa sangka bahwa pelancong bangsa dewek ini begitu didambakan?

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh sektor pariwisata Indonesia dalam hal ini? Pihak industri berharap banyak dari regulator, tapi Pemerintah tidak tampak memiliki solusi alternatif. Kebijakan pariwisata yang selama ini dianut adalah kebijakan konservatif, yang hanya fokus pada kunjungan wisatawan asing saja. Padahal negara-negara Jepang dan RRC sudah lama memacu wisatawannya untuk berkunjung ke luar negeri. Kenapa bisa begini? The singer, not the song, begitu kata ungkapan asing. Penyanyilah yang menentukan lagu apa yang ingin dia nyanyikan. Lagu Mars yang bersemangat? Atau lagu cengeng yang pasrah bongko’an? Atau hanya cuap-cuap sebagai penyanyi latar?

■ Marsekal TNI Chappy Hakim, Lahir dan Hidup di Udara

Chappy Hakim yang semasa remaja tak punya keinginan jadi tentara, akhirnya mencapai puncak karier seorang prajurit udara. Ia menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Udara dengan pangkat Marsekal (bintang empat). Jalan hidup prajurit yang telah mengantongi lebih dari 8.000 jam terbang ini, tampaknya memang sudah diterakan di udara.

Pria ini Ia lahir di Yogyakarta pada 17 Desember 1947. Persis pada tanggal dan bulan saat Wilbur Wright dan Orville Wright bersaudara di tahun 1903, untuk pertama kalinya menerbangkan pesawat buatan mereka, yang menandai babak awal umat manusia menggapai angkasa.

Maka setiap kali merayakan ulang tahunnya, ia sesungguhnya juga merayakan kelahiran dunia dirgantara. Sehingga tak berlebihan jika Majalah Tempo edisi 30 Juni – 6 Juli 2003 menjulukinya sebagai orang yang lahir dan hidup di udara.

Semasa kecil di Jalan Segara 4 Jakarta (sekarang Wisma Negara), ia kerap dibonceng ayahnya dengan sepeda ke Bandar Udara Kemayoran. Ia terpesona melihat pesawat yang besar, berat, sepotong kokpit dengan siluet kepala sang pilot di baliknya, bergemuruh tapi bisa melesat ke angkasa.

Sejauh itu, ia tak punya keinginan jadi tentara, tapi Chappy bercita-cita jadi penerbang. Maka, setamat SMA ia mendaftar di Akademi Penerbangan Indonesia di Curug, dan diterima. Tapi jalan hidup berbicara lain. Sembari menunggu panggilan dari Curug, suatu hari ia menemani seorang kawan yang hendak mendaftar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) Udara. Iseng-iseng, ia mengambil formulir dan mengisinya. “Eh, gua diterima dan kawan saya malah tidak lolos,” kata Chappy kepada Tempo.

Peristiwa di tahun 1968 itulah yang mengawali karier Chappy di TNI Angkatan Udara. Ia lebih banyak terbang dengan pesawat angkut dan telah mengantongi lebih dari 8.000 jam terbang. “Dulu saya terbang dengan pesawat tanpa jendela. Kalau belok, masuk angin,” katanya sembari tergelak.

Pada 25 April 2002, ia dilantik menjadi Kepala Staf TNI-AU menggantikan Marsekal TNI Hanafie Asnan ((Keputusan Presiden No. 20/TNI/2002 tertanggal 23 April 2002). Chappy Hakim adalah alumni Akademi TNI AU (AAU) angkatan 1971. Sebelum diangkat menjadi Kasau ia menjabat Komandan Jenderal (Danjen) Akademi TNI di Jakarta.

Ia mengawali karir di Skadron 2 Halim Perdanakusuma (1973). Kemudian menjadi Komandan Skadron 31 Lanud Halim Perdanakusuma (1989), Komandan Wing Taruna AAU (1992), Komandan Lanud Sulaiman Bandung (1995), dan Direktur Operasi dan Latihan (Diropslat) TNI AU (1996).

Setelah itu ia menjabat Gubernur AAU (1997) dilanjutkan sebagai Asisten Personel (Aspers) Kasau (1999) dan menjabat Danjen Akademi TNI sejak tahun 2000.

Ayah dua anak dari perkawinannya dengan Pusparani Hasjim itu menempuh pendidikan Sekolah Penerbang (1973), Sekolah Instruktur Penerbang (1982), Sesko TNI AU (1987), Instrukur Hercules C-130 H/HS (1985), Sesko ABRI (1997) dan Lemhanas (1998).

Sarjana lulusan Universitas Terbuka (UT) itu telah menerima Bintang Swa Bhuana Paksa Nararya, Satyalencana Kesetiaan VIII, XVI, XXIV, Satyalencana GOM VIII Kalbar, GOM IX Raksaka Dharma (Papua), Satyalencana Dwiwidya Sista, dan Satyalencana Seroja.

Dia mengakhiri tugasnya sebagai Kasau pada tanggal 18 Februari 2005 (Keppres No6/TNI/2005 yang ditandatangani Presixden pada 16 Februari 2005), digantikan Marsekal Madya Djoko Suyanto yang sebelumnya menjabat Asisten Operasi KSAU.

■ Kim Ung-Yong : Manusia Ber-IQ Tertinggi di Dunia


Lahir pada tahun 1962, Anak dari Korea ini dinobatkan sebagai manusia jenius di seluruh dunia. Bayangkan pada umur 4 tahun, dia sudah bisa membaca huruf Jepang , Korea ,Jerman,Inggris. Pada umur 5 tahun ia mampu memecahkan masalah pada soal kalkulus. ia mencatatkan dirinya pada Guinness Book of World Records dengan "Highest IQ" 210.

■ Gregory Smith : Mendapatkan Penghargaan Nobel Pada Usia 12


Lahir pada tahun 1990, Gregory Smith mencatatkan namanya pada nobel perdamaian. berkat usahanya dalam mendirikan International Youth Advocates. Perkumpulan Orang muda seluruh dunia.
Ia pernah bertemu langsung dengan Presiden Bush, dan juga Michael Gorbacev lho...

■ Akrit Jaswal : Dokter Bedah usia 7 tahun


Julukan "anak terpandai di dunia" telah melekat pada Akrit Jaswal, seoarang anak dari India . Ia mengejutkan Publik, ketika pada umur 7 tahun melakukan pembedahan pada seorang gadis lokal di tempatnya. gadis itu menderita luka bakar di tangannya, hingga tangannya tidak dapat dibuka, dan jaswalpun melakukan pembedahan hingga jemari gadis itu bisa terbuka seperti sedia kala.
Saat ini, ia tercatat sebagai dokter paling muda di dunia, ia diterima di Universitas pada usia 11 tahun.

■ Cleopatra Stratan : Bocah Penyanyi Berusia 3 Tahun dengan Gaji 1000€ per lagu


Lahir Pada 6 Oktober 2002 di Chis ina u. ia adalah pencatat sejarah di Industri musik sebagai seorang penyanyi. Dengan albumnya tahun 2006 La vârsta de trei ani ("pada usia 3"). Dia mencatat record seorang artis cilik yang tampil diatas panggung dengan ribuan penggemarnya. Dia juga menerima penghargaan MTV Award dalam Artis termuda yang mencetak #1 Hit

■ Aelita Andre : Pelukis di usia 2 tahun




Anak kelahiran Australia ini, baru berumur dua tahun sudah menunjukkan kualitasnya sebagai jenius, ia memiliki sebuah gedung pertunjukan untuk karya-karya abstraknya.
Pada mulanya Mark Jamieson, direktur dari Brunswick Street Gallery di Melbourne's Fitzroy. Tretarik melihat sebuah foto lukisan dari Aelita Andre. dan dia menginginkannya bergabung dalam grupnya karena bakat lukisannya itu. Ketika undangan telah dibuat, ia baru saja menyadari bahwa Aelita adalah anak yang masih berumur 22 bulan. Namun ia tetap melanjutkan pertunjukannya itu.

■ Saul Aaron Kripke : Mengajar Havard saat Masih Duduk di Bangku SMA


Lahir di New York dan tumbuh dewasa di Omaha di 1940. Jenius satu ini, saat kelas empat ia menguasai aljabar, saat akhir SD ia sudah bisa geometri, kalkulus dan filsafat. Saat SMU ia memperoleh surat dari Harvard agar melamar sebagai dosen, namun ibunya menyuruhnya untuk menamatkan sekolahnya dahulu.
Kripke dihadiahi Schock Prize, Nobel Filosofi. Sekarang, ia dinobatkan sebagai ahli filsafat terbesar dalam sejarah

■ Michael Kevin Kean : Lulus kuliah pada umur 10 tahun


Kaerny, lahir tahun 1984, ia menyelesaikan kuliah pada umur 10 tahun. dan tercatat sebagai sarjana termuda. ia mengajar universitas pada usia 17 tahun. Namanya semakin mencuat kala dia memenangkan sebuah kuis online. Pada 2006, dia mencapai f ina l di tanda burnett/aol perebutanGold Rush, perma ina n menguji/teka- teki, dan menjadi pemenang pertama 1 juta di perma ina n kenyataan online.

■ Fabiano Luigi Caruana : Grandmaster pada usia 14



Seorang anak berwarga negara America dan Italia ini sungguh jenius. Pada tahun 2007 ia memperoleh Grandmasternya, 11 bulan, 20 hari. sejarah telah mencatat namanya dalam Grandmaster termuda.
Dan baru-baru ini pada bulan April 2009, ia memperoleh Elo rating 2649, dalam usianya yang dibawah 18 tahun, membuatnya sebagai pemeroleh ranking terbanyak, dan menakjubkan, hal itu dilakukannya sebelum usianya genap 18 tahun.

■ Willie Mosconi : Pemain Bilyard Professional pada usia 6 tahun


Mendapat julukan "Tuan Pocket Billiards". Dia berasal dari Philadelphia , Pennsylvania . Ayahnya seorang pemilik tempat Billyard, namun ayahnya tidak mengizinkannya main, ia sering berimprovisasi dengan gagang sapu milik ibunya. Ayahnya melihat bakat anaknya, ia sering mengalahkan orang-orang yang lebih tua darinya.
Antara tahun 1941 dan 1957, dia memenagkan BCA World Championship selama 15 kali tanpa pernah kalah sekalipun. ia membuat berbagai macam trik, membuat banyak rekor, dan membuat billyard menjadi olahraga yang terkenal

■ Ela ina Smith : Penyiar Usia 7 tahun


Dalam usianya yang 7 tahun Ela ina telah menjadi penyiar radio dengan pendengar yang melebihi umurnya. Ela ina banyak memberikan solusi tentang percintaan kepada para pendengarnya. Bagaimana caranya memutuskan pacar, Bagaimana caranya untuk memb ina hubungan yang harmonis. benar-benar Jenius..!!!! !