Senin, 11 Mei 2009

■ Pariwisata Indonesia, Sektor Strategis Tanpa Peran Strategis

Bachrul Hakim
Pengamat Transportasi dan Pariwisata

Mulai tahun 2011 nanti, warga negara Indonesia yang akan bepergian ke luar negeri tidak perlu lagi bayar fiskal. Sebelumnya, sejak awal 2009 Pemerintah sudah membebaskan warganya dari kewajiban membayar fiskal, asalkan ia sudah memiliki NPWP paling tidak selama sebulan sebelum tanggal keberangkatan ke luar negeri.

Kita masih ingat sejarah pemberlakuan fiskal ini pada jaman Pemerintahan Orde Baru dulu. Waktu itu, sektor pariwisata Indonesia mempunyai peran dominan. Demi kepentingan pariwisata, Pemerintah RI mengamini hampir semua kemauan sektor pariwisata yang diotaki oleh Menparpostel pada masa itu, Joop Ave. Dengan pengaruhnya yang kuat, tokoh flamboyan ini mampu “mengobrak-abrik” kepentingan dan kebijakan sektor lain. Semua dengan dalih untuk meningkatkan pemasukan devisa melalui sektor pariwisata. Sektor Politik, Pertahanan, Keamanan, serta dua Badan Intelejen yang sangat berpengaruh pada waktu itu, yaitu Bais dan Bakin terpaksa mengalah dan harus menyetujui kebijakan Bebas Visa bagi warga negara asing yang berasal dari negara-negara tertentu. Sebaliknya, warga negara Indonesia yang akan mengadakan perjalanan ke luar negeri diharuskan membayar fiskal, tanpa pandang bulu. Bagaikan pisau bermata ganda, kebijakan ini diarahkan untuk menggenjot pemasukan devisa ke dalam negeri dan mencegah kebocoran devisa dari dalam negeri. Kebijakan sub-sektor Perhubungan Udara yang pada masa itu cenderung melindungi kepentingan maskapai penerbangan nasional dirubah. Maskapai asing diijinkan masuk ke 23 kota-kota di Indonesia. Wisatawan asing diharapkan bisa berkunjung ke seluruh penjuru tanah air secara langsung, tidak terpusat ke Bali saja, dan tidak harus melalui Jakarta.

Setelah Joop Ave turun panggung, sektor pariwisata Indonesia kehilangan arah, bagaikan bahtera yang melaju tanpa nakhoda. Bukan itu saja, kini giliran sektor pariwisata yang “diobrak-abrik” oleh sektor lain. Kebijakan Bebas Visa dicabut, tanpa kompromi. Dengan “belas-kasihan” Depkumham, kebijakan ini dilonggarkan menjadi Visa On Arrival. Kebijakan pemberian visa, yang seyogyanya merupakan kemudahan bagi wisatawan asing yang ingin berkunjung ke Indonesia, justru menjadi lahan empuk untuk mengutip pungli, seperti yang terjadi di KBRI Beijing, dan di loket-loket pelayanan imigrasi di berbagai Bandara domestik. Memang keadaan sudah berubah. Sejalan dengan adanya krisis keuangan global, dimana para pelaku bisnis pariwisata di dalam negeri menguatirkan turunnya jumlah kedatangan wisatawan mancanegara, harapan digantungkan sepenuhnya kepada wisatawan domestik. Apa daya, “keran” berlibur ke luar negeri justru dibuka lebar-lebar dengan penghapusan fiskal ini. Sektor Keuangan kini lebih berperan. Pemasukan kas negara dari wajib pajak yang terdaftar melalui NPWP lebih diperhitungkan daripada pemasukan melalui fiskal. Bukan hanya masarakat yang menyambut hangat penghapusan fiskal ini, negara-negara tetangga di kawasan Aseanpun sudah lama menunggu-nunggu kebijakan ini. Siapa sangka bahwa pelancong bangsa dewek ini begitu didambakan?

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh sektor pariwisata Indonesia dalam hal ini? Pihak industri berharap banyak dari regulator, tapi Pemerintah tidak tampak memiliki solusi alternatif. Kebijakan pariwisata yang selama ini dianut adalah kebijakan konservatif, yang hanya fokus pada kunjungan wisatawan asing saja. Padahal negara-negara Jepang dan RRC sudah lama memacu wisatawannya untuk berkunjung ke luar negeri. Kenapa bisa begini? The singer, not the song, begitu kata ungkapan asing. Penyanyilah yang menentukan lagu apa yang ingin dia nyanyikan. Lagu Mars yang bersemangat? Atau lagu cengeng yang pasrah bongko’an? Atau hanya cuap-cuap sebagai penyanyi latar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar